ABSTRAKSI TIGA WAJAH POLITIK Oleh: Bang Dayat*
Di suatu pagi kota Honolulu yang cerah, seorang dosen tiba-tiba bertanya; pekerjaan apa yang anda akan geluti setelah menyelesaikan studi sampai harus datang jauh-jauh kuliah ke Hawaii. Spontan saya jawab, ingin jadi politisi. Saat itu, saya menangkap kesan bahwa dosen asal Jepang itu sedikit heran. Syukur, ia tidak bertanya lebih jauh lagi meskipun jawaban saya terasa unik dibanding respon semua mahasiswa di kelas itu.
Beberapa tahun kemudian, perasaan yang hampir sama pun saya alami. Saat asyik ngobrol dengan seorang sahabat Bule di sebuah coffee-shop sore hari, tiba-tiba ia berujar; politics is easy job. Saya kaget, tetapi pikir-pikir, ada betulnya statement itu. Lalu arsip pengalaman gaul saya mengkonfirmasi itu dengan cepat. Sesaat kemudian beragam sosok politisi melintas dalam kepala saya.
Memang salah satu ciri politisi itu adalah mereka selalu ingin menyelesaikan suatu urusan dengan mudah. Mereka selalu banyak akal dan cenderung akal-akalan. Kepentingan mereka selalu ingin diprioritaskan. Jika menemui sedikit kesulitan, ada saja cara yang mereka dapat lakukan untuk bisa menerabas. Sebuah karakter arogan khas para politisi yang bisa tiba-tiba muncul kepermukaan.
Ya, tentu tidak semua politisi bersikap seperti itu. Namun pemandangan semacam itu sering kita temukan. Mungkin saja itu kebetulan, tetapi faktanya memang begitu dan terjadi di mana-mana. Tidak sedikit politisi selalu merasa lebih hebat dan lebih istimewa dari orang lain, sebaik atau seburuk apapun mereka. Sampai ada yang pernah bertanya, apakah politik akan berefek seperti itu pada setiap orang yang mengalaminya? Luar biasa. Mau tidak percaya, tetapi sudah banyak bukti.
Politik itu adalah seni, dan seni itu indah. Seni memungkinkan sesuatu yang terasa ‘tidak bisa’ pada mulanya, akan menjadi “mungkin bisa” karena adanya sentuhan sakti tangan politik. So, it’s all about politics, and it’s all polically correct. Begitulah ungkapan yang biasa kita dengar dari para pelaku politik. Wajar saja jika penerimaan dan pengertian banyak orang tentang politik menjadi sangat lentur dan abstrak.
Asyiknya, saat sesuatu itu sungguh ‘tidak ada’ bisa berubah menjadi mungkin ‘ada’ atau seolah-olah ada. Sebaliknya, sesuatu yang ‘nyata ada’ bisa menjadi mungkin “tidak ada”. Dan disitulah hebatnya seorang politisi. Mereka dapat memainkan peran antagonis, tetapi pada saat yang sama mereka bisa menjadi pesulap handal sekaligus.
Parner diskusi saya sampai terpingkal-pingkal dan tersedak kopi lantaran mendengarkan omong kosong itu. Namun ia langsung terdiam saat seorang kawan lain dengan entengnya berkata bahwa politik itu memang unik. Politik itu cair, lucu, dan aneh tetapi begitulah nyatanya. Kita pun lalu tertawa lepas sambil membiarkan bayangan abstrak politik itu menguap terbang ke angkasa bersama kepulan asap rokok dan aroma kopi Toraja.
PERSEPSI POLITIK
Seringkali suasana santai perkawanan jadi sedikit terganggu lantaran politik tiba-tiba menyelinap masuk dalam perbincangan. Apalagi bagi orang yang bersikap apolitis, acuh dan sama sekali tidak tertarik pada sesuatu yang beraroma politik. Baginya, politik itu garing dan bisa bikin enneck di tenggorokan.
Mereka yang alergi terhadap politik biasanya lebih suka menyibukkan diri pada bisnis perburuan rente, pekerjaan seni, ilmuwan, dan agamawan. Mereka cenderung tidak peduli dengan segala tetek-bengek, manis, atau pahitnya politik. Apalagi untuk mengenal lebih jauh “binatang purba” itu. Biarlah politik itu diurus oleh para megaloman, petugas partai, aparat negara, birokrat, polisi atau pensiunan tentara. Pokoknya mereka tidak mau tahu “politik macam-macam” sepanjang bisnis atau kegiatan utama mereka aman dan lancar.
Sebaliknya, para aktifis atau kader partai akan menginterpretasikan politik itu secara lebih dalam. Umumnya mereka itu telah aktif berorganisasi sejak kuliah. Makanya politik adalah sesuatu yang asyik, pembangkit semangat dan penuh sensasi bagi mereka. Saking gandrungnya mereka terhadap politik, maka hampir semua hal bisa dimaknai secara politis. Ibarat politik itu sudah mendarah-daging dalam dirinya sehingga bicara dan pikirannya melulu politik. Hal sepele seperti ketulusan, kepedulian, atau pertemanan bisa mereka maknai secara politis. Lebih dari itu, gerak-gerik, lirikan mata, atau senyuman seseorang pun bisa ditafsirkan secara politis. Bahkan hidup ini pun kadang dipahami secara politis. Hebat sekali.
Namun, kita tidak ingin membenturkan perbedaan pandangan politik itu atau menempatkannya pada etalase baik-buruk, atau benar-salahnya. Potret politik itu mesti disajikan apa adanya sebagaimana ia tergeletak dalam realitas sosial, terformat dalam bingkai filsafat atau terpercik dari pemikiran para ilmuan politik.
SARANA POLITIK
Para pelaku atau pembelajar politik cenderung memiliki perspektif yang beragam atau mungkin berbeda satu sama lain. Karena itu, paling tidak ada tiga potret pemaknaan politik yang kita temukan dalam realitas kekinian dan akan dipresentasikan singkat dalam abstraksi berikut ini.
Satu :
Pengamatan kita terhadap para pelaku politik selama ini memberikan gambaran bahwa mereka bergelut dalam dunia politik dan menjadikannya sebagai sarana untuk meraih atau mempertahankan kekuaasaan. Bagi mereka, esensi politik adalah kekuasaan. Persoalan untuk apa atau bagaimana kekuasaan itu dikelola dengan baik adalah urusan berikutnya.
Mereka memandang kekuasaan itu sebagai sesuatu yang agung, mulia, dan nikmat. Karenanya kekuasaan selalu menarik dan menggoda di mata mereka.
Selain itu, kekuasaan dijadikan sebagai standar nilai. Hidup terasa lebih berarti, terhormat, dan terpandang jika ia memegang kekuasaan.
Sebaliknya, hidup terasa hampa, sepi, dan tak bermakna apa-apa jika kekuasaan tidak berada dalam genggamannya. Begitu pentingnya kekuasaan itu sehingga para politisi bisa menggunakan segala cara untuk meraih atau mempertahankannya. Bahkan mereka rela mengeluarkan banyak uang, mengorbankan kehormatan atau kemanusiaan demi kekuasaan itu.
Kita sering pula mendapatkan pertanyaan, mengapa kekuasaan itu begitu penting? Satu setengah abad yang lalu, filsuf sekaliber Friedrich Nietzsche menjawab itu dan menempatkan kekuasaan sebagai sesuatu yang sangat sentral dan penting dalam kehidupan bersama. Bahkan Nietzsche memandang kekuasaan itu sebagai suatu tuntutan dasar dalam mencapai derajat manusia agung.
Sayang sekali sampai akhir hidupnya, Nietzsche tak pernah bertemu dengan sosok manusia agung itu pada diri seseorang seperti yang ia bayangkan. Akhirnya ia mencoba menggabungkan beberapa sosok sebagai abstraksi manusia agung dengan memasangkan Napoleon dan Goethe. Sampai disitu, formulasi manusia agung dari Nietzsche hanya menyisakan delusi dan utopia yang tak kunjung maujud. Uniknya, abstraksi manusia agung itu menyimpulkan bahwa kejahatan itu mesti selalu ada untuk menunjang eksistensi keutamaan manusia agung.
Jika ada lagi yang bertanya, lantas siapakah yang pantas jadi penguasa? Lebih satu abad lalu, Bertrand Russel telah menegaskan bahwa siapa yang paling mendambakan kekuasaan adalah mereka yang paling berpeluang besar untuk memperoleh kekuasaan itu. Salah satu argumennya adalah karena mereka yang mendambakan kekuasaan itu percaya akan kemampuannya untuk menangani urusan tersebut. Sementara mereka yang menyadari ketidakmampuan diri akan lebih cenderung mengikuti penguasa untuk memimpin dirinya.
Dua:
Tidak sedikit para aktifis politik terjun ke dunia politik karena motif ekonomi. Mereka menjadikan politik sebagai sarana untuk memperoleh uang atau kekayaan materi. Mereka melihat dunia politik penuh dengan peluang untuk mendapatkan uang dan materi dengan cara mudah. Untuk itu sangat sulit menghindari adanya cost and money politics dalam setiap perhelatan politik. Justru perolehan materi, komoditi, dan uang menjadi salah satu motif yang menggairahkan bagi seseorang yang terlibat ke dalam politik. Bahkan para ahli ekonomi ortodoks sekelas Karl Marx pun mengakui dan telah mengingatkan kita akan hal itu sekira dua abad yang lalu.
Banyak politisi yang ketika menyadari kemampuan dirinya belum memiliki modal yang cukup untuk merebut kekuasaan itu maka ia harus puas cukup dengan perolehan materi. Mereka rela menjadi bagian dari kelompok atau seseorang yang memiliki ambisi terhadap kekuasaan dan mengharapkan imbalan ekonomi atau akses terhadap sumber-sumber keuangan atau pekerjaan yang bisa mendatangkan income lebih.
Malahan mereka yang menjadikan ekonomi sebagai motif politik bisa sangat lihai menjual konsep, isu atau ramalan politik. Mungkin hal itu menjadi lumrah sejak lama tetapi belakangan ini mengalami eskalasi yang sangat signifikan dan makin merajalela. Baik dalam lingkup partai politik atau event politik seperti pemilihan presiden, gubernur, walikota dan bupati termasuk pada pemilihan legislatif tingkat pusat, provinsi, atau kabupaten/kota.
Para “pedagang politik” biasanya sangat mahir melihat peluang dan mampu mengkapitalisasi hal itu. Mereka bisa menjual isu, kebaikan, kecurangan, atau kejahatan politik sekalipun. Karena itu, kemuliaan atau nilai baik dari politik bisa lenyap di tangan para politisi bermotif ekonomi. Demi uang, komitmen bisa dianggap sebagai jebakan. Maka wajar jika pelanggaran komitmen atau pengkhianatan sering terjadi dalam politik. Mereka hanya memikirkan dan mendahulukan kepentingan politiknya agar bisa mereka kapitalisasi menjadi uang.
Politisi semacam itulah yang biasa dilabeli sebagai politisi pragmatis, oportunis dan transaksional. Jangankan politik, kecurangan atau kejahatan sekalipun bisa mereka transaksikan. Karena apa saja yang ada atau bahkan tidak ada mereka bisa transaksikan secara politis demi rupiah.
Tiga:
Sejak dulu, bukan hanya motif kekuasaan dan materi yang menjadi alasan primadona bagi banyak orang untuk terlibat dalam politik. Realitas politik membuktikan bahwa tidak sedikit politisi menjadikan politik sebagai sarana ibadah. Hal itu bukan tanpa alasan. Tokoh ulama politisi sekaliber Buya Hamka atau Muhammad Natsir pun berpandangan sama. Mereka memposisikan politik sebagai ladang ibadah untuk menebar benih kebaikan dan kemuliaan bagi umat manusia.
Sementara dari tinjauan ilmu-ilmu sosial, politik sejatinya adalah untuk kebajikan (virtue). Senada dengan itu, seorang filsuf besar seperti Aristoteles pernah berkata bahwa politik sebagai upaya yang harus ditempuh oleh rakyat untuk mewujudkan kebaikan bersama. Selain manifestasi kebajikan, politik harus bisa menjauhkan umat manusia dari kerusakan dan kejahatan.
Meskipun seringkali kita dapati bahwa politik sebagai sarana ibadah dianggap klise. Tetapi bagaimana bisa kita dapat menampik fakta adanya sekelompok orang yang berkehendak untuk mewujudkan hasrat berbuat baik dan menebar kebaikan bagi sesama melalui politik. Bukankah politik itu sendiri mengandung nilai-nilai luhur dan berorientasi pada kebajikan bersama yang selaras dengan nilai-nilai ibadah, untuk kemuliaan dan keagungan manusia.
Mereka yang terjun ke kancah perjuangan politik kadang tidak berpikir panjang tentang kalah-menang, kekuasaan atau materi. Justru mereka rela mengorbankan materi dan kekuasaannya untuk kemanusiaan, keadilan, dan kebajikan bersama tanpa pamrih. Bagi mereka, politik adalah panggilan jiwa, ladang pengabdian, dan jalan jihad. Lain halnya dengan mereka yang memiliki motif ekonomi atau kekuasaan tetapi pura-pura membungkusnya dengan rapi kemudian melabelinya dengan cap ibadah.
Sebagaimana Buya Hamka pernah berpesan bahwa karena hanya manusialah dengan segala kelebihan dan kekurangannya yang mampu merefleksikan sifat dan kehendak tuhan secara langsung. Karena itu ia diberi tugas sebagai khalifah di muka bumi untuk memakmurkan dan mensejahterakan umat manusia. Sebagaimana Plato, seorang filsuf Yunani Kuno, berdalil bahwa hakikat politik adalah untuk kesejateraan rakyat. ***
*Penulis, Hidayat Muhallim (Alumni East West Center & University of Hawaii at Manoa, Hawaii-USA)