Krisis dan Distorsi Pergeseran Dalam Praktek Pembangunan Masyarakat

Tulisan dari Hidayah Muhallim, MA (advisory board of Mediaqita foundation)
Pengantar
Perkembangan pembangunan sosial-kemasyarakatan di Indonesia belakangan ini memperlihatkan kecenderungan terjadinya pergeseran paradigma, model pendekatan, strategi dan praktek pembangunan. Perubahan strategi pendekatan pembangunan tersebut mulai terlihat dengan jelas terutama pasca krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 yang kemudian diikuti oleh munculnya gerakan reformasi politik pada tahun 1998. Dengan situasi nasional seperti itu sekaligus menjadi momentum munculnya berbagai kritik yang bukan hanya terbatas ditujukan pada sistem dan tata kelola pemerintahan Orde Baru (Orba) tetapi juga terhadap model pembangunan nasional yang diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru yang berlangsung sekitar 32 tahun. Model Pembangunan Nasional Ala Orba yang terlalu difokuskan pada pertumbuhan ekonomi tersebut telah dianggap kurang mampu memenuhi pemerataan ekonomi, kesejahteraan, dan keadilan sosial masyarakat Indonesia secara luas. Karena itu, pembangunan nasional yang terlalu mengandalkan pertumbuhan ekonomi tersebut pada akhirnya menemukan kegagalannya sendiri.
Kurang berhasilnya pembangunan nasional ala Orde Baru tersebut menjadi pelajaran penting dan memicu berbagai kalangan di Indonesia untuk mencoba menemukan model pembangunan alternatif yang dianggap lebih tepat dan dapat menjadi solusi bagi berbagai permasalahan sosial-kemasyarakatan di Indonesia saat ini. Munculnya gagasan pembangunan alternatif tersebut yang memperkenalkan salah satu model pendekatannya yang dikenal dengan “Community Development” mendapat perhatian yang luas dari berbagai kalangan yang kemudian banyak dipraktekkan di Indonesia saat ini. Gagasan dan konsep pendekatan “Community Development” inilah yang sementara ini disepakati oleh berbagai pihak pelaku pembangunan di Indonesia sebagai model pembangunan alternatif.
‘Community Development’ sebagai model pembangunan alternatif dapat diterima tentu saja bukan tanpa kelemahan. Sebahagian pihak menganggap bahwa “Community Development” tersebut terlalu mengagungkan persoalan komunitas dan lokalitas secara berlebihan dan cenderung menegasikan model pendekatan dan praktek-praktek pembangunan lain yang telah eksis selama ini. Bahkan beberapa kalangan lainnya berpandangan bahwa para pendukung “Community Development” kadang terlalu mendiskreditkan seluruh upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru yang telah mempraktek model pembangunan nasional yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi tersebut.
Oleh karena itu, tulisan singkat ini dapat menjadi sebuah kilasan pengantar atas fenomena yang telah berlangsung dan mencoba untuk mempresentasikan seperti apa perkembangan pembangunan sosial-kemasyarakatan di Indonesia sampai saat ini serta lebih khusus memberi perhatian terhadap krisis yang terjadi dalam pembangunan nasional, kritik terhadap kelemahan-kelemahan dan kelebihan-kelebihan dari model-model pendekatan yang ada secara proporsional, serta pergeseran dan upaya-upaya integrasi yang diharapkan muncul dalam paradigma dan strategi pendekatan yang berkembangan di Indonesia belakangan ini sehingga nantinya dapat ditemukan model pembangunan masa depan yang lebih tepat dan sesuai dengan konteks ke-Indonesia-an. Tulisan singkat ini pula mencoba untuk mengetengahkan bentuk-bentuk implementasi kebijakan pembangunan dan gagasan “Community Development” yang banyak dianut dan dipraktekkan belakangan ini yang oleh berbagai kalangan di Indonesia sebagai suatu model pendekatan pembangunan yang lebih akomodatif dan integratif yang sekaligus dapat menjadi arus utama model pendekatan pembangunan sosial yang diterapkan di Indonesia pada era reformasi ini.
Pembangunan Nasional
Kalau saja kita memperhatikan dengan cermat perkembangan konsep, model pendekatan, dan strategi pembangunan yang digunakan di Indonesia selama ini maka kita akan menemukan adanya perubahan yang berlangsung dari waktu ke waktu. Sebagai sebuah negara-bangsa yang pernah mengalami proses penjajahan, maka semestinya konsep, model pendekatan dan strategi pembangunan yang digunakan di Indonesia hendaknya disesuaikan dengan keadaan dan konteks situasi kebangsaan dan perkembangan masyarakat yang sebenarnya terjadi.
Pada fase awal pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945, pendekatan pembangunan yang sering digunakan dikenal dengan istilah akselerasi perubahan, integrasi, dan revitalisasi. Akselerasi perubahan dimaksudkan agar pembangunan dapat dipercepat dengan alasan bahwa Indonesia mengalami ketertinggalan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk masalah sosial-ekonomi akibat penjajahan yang dialaminya secara berkepanjangan. Sementara pendekatan integrasi digunakan untuk menghimpun kembali potensi-potensi kebangsaan dan kemasyarakat yang cenderung berserakan dan mengalami disintegrasi selama proses penjajahan berlangsung. Adapun revitalisasi ditujukan untuk memunculkan kembali potensi-potensi lokal yang dapat dikembangkan lebih jauh mengingat banyaknya potensi-potensi lokal baik budaya, sosial, dan ekonomi yang musnah dan mengalami kehancuran selama proses penjajahan berlangsung (Soetomo, 2006).
Pada perkembangan selanjutnya, pemerintah Orde Baru memperkenalkan model pembangunan nasional yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Pemerintah Orde Baru meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi akan memiliki “tricle down effect” yang diharapkan akan membawa dampak positif terhadap perkembangan masyarakat Indonesia secara umum. Karena itu, program pembangunan nasional terlebih dahulu diarahkan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan membangun berbagai fasilitas dan infrastruktur, sementara pembangunan sosial kurang mendapat perhatian bahkan cenderung dikebelakangkan. Program-program pembangunan dan pengembangan sosial-kemasyarakatan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orba saat itu dirancang seragam secara nasional, bersifat top-down serta kurang memperhatikan partisipasi masyarakat. Hal itu sekaligus menandakan bahwa model pendekatan pembangunan nasional ala Orde Baru cenderung mengabaikan pendekatan pembangunan berbasis masyarakat yang dipercaya akan lebih mampu mendorong munculnya partisipasi, inisiatif, prakarsa, swadaya, dan kemandirian masyarakat itu sendiri.
Krisis Dalam Pembangunan Nasional
Program pembangunan nasional yang dijalankan oleh pemerintahan Orde Baru jelas sangat mengandalkan model pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Model pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi tersebut sangatlah dipengaruhi oleh teori-teori modernisasi dan developmentalisme yang dipromosikan oleh negara-negara maju yang sangat kapitalistik dan cenderung mengembangkan prinsip-prinsip neo-klasik dan neo-liberalisme. Para pendukung modernisasi dan developmentalisme sangat aktif menyebarkan gagasan-gagasan mereka meskipun gagasan-gagasan tersebut tidak sepenuhnya cocok diterapkan di beberapa belahan dunia. Karena itu berbagai pihak kemudian mengeritik dan menganjurkan untuk meninggalkan konsep-konsep pendekatan developmentalisme tersebut yang dianggap sebagai model pembangunan yang telah gagal menunaikan janji-janjinya yaitu untuk lebih menyejahterakan masyarakat, mengurangi kemiskinan dan pengangguran, serta mengembangkan kapasitas masyarakat melalui pendidikan, kesehatan, dan pembangunan fasilitas dan infrastruktur.
Program pembangunan nasional yang dipraktekkan oleh pemerintah Orba tersebut lebih bersifat top-down dan intervensionis karena dianggap cenderung mengabaikan aspek-aspek pembangunan sosial yang berbasis pada pengembangan komunitas yang lebih bersifat bottom-up dan sangat memberi ruang bagi tumbuhnya partisipasi masyarakat. Pendekatan pembangunan nasional seperti itu jelas menempatkan masyarakat sebagai obyek yang menjadi sasaran proyek-proyek pembangunan dimana program-program tersebut dirancang seragam secara nasional tanpa memperhatikan aspirasi-aspirasi yang berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sebenarnya. Karena itu, pembangunan nasional yang berorintasi pada pertumbuhan ekonomi tersebut tidak hanya memiliki konsekuensi negatif terhadap berbagai bentuk ketimpangan sosial tetapi juga menciptakan ketergantungan masyarakat pada birokrasi pemerintah yang bersifat sentralistik dan kurang responsif terhadap masalah-masalah yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Sebagai konsekuensi pengabaian terhadap aspirasi dan kebutuhan masyarakat lokal yang cukup beragam dengan sendirinya akan menghambat perkembangan kemandirian dan partisipasi yang dapat mendorong munculnya prakarsa-prakara baru yang diharapkan tumbuh dari masyarakat itu sendiri.
Ketergantungan masyarakat terhadap birokrasi pemerintah dapat pula terjadi karena pihak aparat pemerintah memandang masyarakat masih cenderung tradisional, kurang berpendidikan, kurang mampu mengembangkan diri sendiri, serta kurang memiliki motivasi untuk menjadi lebih maju. Dengan anggapan semacam itulah maka birokrasi dan aparat pemerintahan menjadi sangat dominan dalam berbagai aspek kehidupan sosial kemasyarakatan. Pandangan pembangunan yang demikian itu jelas cenderung tidak efektif dan salah arah karena tidak memahami masalah dan kebutuhan nyata masyarakat yang seharusnya menjadi orientasi utama pembangunan nasional jika ingin dianggap berpihak pada kepentingan masyarakat secara umum. Bahkan strategi pendekatan pembangunan nasional ala Orba seperti itu yang sangat mengandalkan dominasi dan kekuasaan negara yang sulit untuk dikontrol oleh masyarakat umum sehingga sangat rentan terhadap pelanggaran hak-hak azasi manusia.
Selanjutnya, program pembangunan nasional ala Orba juga telah memberi peran yang sangat dominan pada birokrasi sebagai pelaku utama pembangunan yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah sementara warga masyarakat dipaksa untuk patuh dan tunduk pada birokrasi tersebut. Besarnya peran birokrasi dalam pembangunan membuat aparat pemerintah sekaligus menjadi perencana, pelaksana, pengawas, dan pengevaluasi seluruh program-program pembangunan nasional. Sementara disisi lain masyarakat cukup dianggap sebagai objek yang harus menjadi sasaran dari program pembangunan tersebut. Pola seperti itulah yang sekaligus mengindikasikan adanya kesenjangan dan ketimpangan birokrasi baik antar pusat dan daerah maupun antar regional.
Pembangunan nasional ala Orba sebagaimana model pembangunan konvensional yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi tersebut sangatlah dipengaruhi oleh gagasan-gagasan modernitas yang menganggap kemiskinan dan keterbelakangan suatu masyarakat dapat diatasi melalui program percepatan ekonomi yang diyakini akan berdampak langsung terhadap masyarakat yang dikenal dengan istilah “trickle down effect” dengan menggunakan strategi-strategi tertentu. Meskipun pembangunan nasional yang dirancang oleh pemerintah Orba dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tetapi pada kenyataannya praktek pembangunan nasional tersebut kurang mampu membuat masyarakat menjadi lebih mandiri. Malah sebaliknya masyarakat justeru semakin tergantung dan tidak berdaya menghadapi situasi dimana kekuatan-kekuatan asing kian gencar menyerbu Indonesia. Karena itu, pendekatan pembangunan konvensional yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi dianggap telah gagal mengatasi kemiskinan dan keseimbangan lingkungan (Suparjan & Suyatno, 2003).
Selain itu, pandangan modernitas dengan sangat jelas telah membuat dikotomi antara negara modern dan tradisional. Karena itu kaum modernis menganjurkan bahwa pembangunan semestinya ditujukan untuk bagaimana mengembangkan negara-negara yang masih tradisional dan terkebelakang menjadi negara yang lebih maju dan modern. Karena memang pada umumnya negara-negara maju tersebut memandang negara-negara bekas jajahan kolonial sebagai masyarakat tradisional, terkebelakang dan kurang rasional. Dengan begitu maka pertumbuhan ekonomi dianggap akan membawa bangsa-bangsa yang masih terkebelakang tersebut kearah yang lebih modern yang dipercaya akan membawa kemajuan, keadilan, dan kesejahteraan sosial yang dengan sendirinya akan dapat mengangkat harkat dan martabat manusia.
Dengan dikotomi negara maju dan negara sedang berkembang seperti itulah maka negara barat memposisikan diri sebagai negara maju karena tingkat ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya, sedangkan negara berkembang ditegaskan sebagai negara terkebelakang. Pemerintah Orba yang mengadopsi cara pandang yang demikian itu dalam menyusun konsep pembangunan nasional dengan sendirinya memposisikan negara Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang yang sangat memerlukan bantuan negara-negara maju untuk dapat membangun bangsa dan masyarakatnya. Padahal mengadopsi cara pandang negara barat tentang pembangunan tidak sepenuhnya tepat untuk digunakan di Indonesia dan negara-negara lain yang dianggap masih berkembang Indonesia. Akan tetapi pada kenyataannya, pembangunan nasional ala Orba mengikuti panduan negara-negara barat yang kemudian diterapkan dalam konsep dan praktek pembangunan di Indonesia.
Langkah-langkah pemerintah ORBA tersebut pada kenyataannya didukung pula oleh sebagian kalangan ilmuan di Indonesia yang sejak awal menganggap bahwa arahan negara-negara barat untuk menggunakan model pembangunan konvensional dianggap sebagai “resep ampuh” yang dapat menjadi solusi yang tepat dan mumpuni. Apalagi kebanyakan kaum intelektual yang ada di Indonesia merupakan hasil didikan barat yang tentu saja cenderung pula menggunakan cara pandang barat. Bahkan ironisnya jika para ilmuan di Indonesia yang tidak menggunakan cara pandang barat maka cenderung dianggap kurang berpandangan terbuka dan tidak progresif.
Model pembangunan konvensional yang sangat mengandalkan pertumbuhan ekonomi terlalu menekankan pada pembangunan fisik. Ukuran kemajuan didasarkan pada indikator-indikator ekonomi dan materi saja. Padahal pembangunan fisik untuk mengenjot pertumbuhan ekonomi tentu saja memerlukan modal yang sangat besar. Apalagi dengan latar belakang Indonesia yang pernah mengalami penjajahan yang menyebabkannya menjadi tertinggal dan kekurangan modal, maka tentu saja biaya pembangunan akan mengandalkan pinjaman dan bantuan luar negeri. Penggunaan pinjaman luar negeri semacam itu jelas akan menyebabkan Indonesia semakin tergantung dan terus berutang untuk membiayai program-program pembangunannya sehingga pada akhirnya akan sulit untuk keluar dan melepaskan diri dari lilitan utang yang terus menjeratnya. Selain itu, model pembangunan konvensional tersebut jelas-jelas bersifat sentralistis, birokratis, top-down, dan didukung oleh regim otoritarian yang berpandangan militeristik. Dalam konteks itu maka masyarakat tidak diperlakukan sebagai subyek tetapi diposisikan sebagai obyek pembangunan yang dianggap masih tradisional, miskin dan terkebelakang. Keadaan yang demikian itu kurang memberi ruang terhadap tumbuhnya partisipasi masyarakat. Bahkan hal itu justeru menyebabkan para birokrat aparat pemerintah menjadi penikmat pembangunan.
Praktek dan implikasi dari model pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintahan Orba tersebut kemudian memunculkan kritik dan ketidakpuasan dari berbagai kalangan yang sekaligus mendorong mereka untuk memikirkan ulang paradigma, model pendekatan, dan strategi-strategi pembangunan yang dianggap lebih tepat untuk kondisi Indonesia saat ini. Sejalan dengan hal itu pula maka diperkenalkanlah sebuah konsep dan model pendekatan pembangunan alternatif yang diharapkan akan lebih mampu memberdayakan masyarakat. Bagi para pengeritik pembangunan nasional, pilihan pendekatan pembangunan yang digunakan oleh pemerintah Orba dianggap tidak hanya dapat menimbulkan ketimpangan sosial dan kesengsaraan tetapi juga memiliki konsekuensi terhadap berbagai aspek kehidupan sosial-kemasyarakatan lainnya seperti gaya hidup hedonistis, apatis dan tidak peduli terhadap masalah sosial, renggangnya ikatan-ikatan kekerabatan dan bentuk hubungan tradisional lama, terjadinya akumulasi modal dan kemajuan bagi golongan tertentu saja, etika, dan dekadensi moral dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Suparjan & Suyatno, 2003).
Model pembangunan konvensional yang sentralistis tersebut sangat mengandalkan kekuatan birokrasi pemerintah yang menganggap kemiskinan dan terkebelakang masyarakat disebabkan oleh faktor-faktor internal yang tertambat dalam struktur dan budaya masyarakat. Karena itu para aparat pemerintahan Orba mengimpor nilai-nilai sosial dan budaya dari luar yang belum tentu sesuai dengan kondisi lokal di Indonesia. Dan dengan kondisi pendidikan masyarakat yang masih sangat rendah, tradisional, berorintasi ke masa lalu, serta dianggap kurang memiliki motivasi dan semangat untuk maju dimana Need for Achievement (N-Ach) dianggap masih rendah.
Pandangan yang demikian itu makin meneguhkan aparat birokrasi pemerintahan Orba sebagai pelaku utama untuk merencanakan, melaksanakan, memonitoring maupun mengevaluasi program pembangunan. Bahkan masalahnya semakin kompleks ketika mentalitas birokrasi pun mengalami masalah dan muncul kepermukaan. Karena itu pembangunan sering berjalan tidak efektif, bahkan arah pembangunan tidak memihak pada golongan ekonomi lemah tetapi justeru berpihak pada golongan menengah ke atas (Suparjan & Suyatno, 2003).
Pada akhirnya, pemerintahan Orde Baru dengan sendirinya mengingkari konsep pembangunan itu sendiri. Padahal pembangunan hendaknya menjadi tanggung-jawab bersama dan harus melibatkan berbagai pihak yang terkait. Pembangunan nasional yang sentralistik yang hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi pada akhirnya akan menghadapi berbagai persoalan yang sangat serius sebagaimana yang dimaksudkan oleh James Midgley (2005) sebagai “pembangunan yang terdistorsi”.
Distorsi Dalam Pembangunan
Konsep pembangunan yang mengarah pada kemajuan ekonomi, seperti yang dianut oleh pemerintahan Orba dan negara-negara lain di berbagai belahan dunia sepanjang abad terakhir, pada satu sisi memang telah memperlihatkan hasil yang lumayan menggembirakan terutama di negara-negara industri barat. Tetapi pada saat yang sama, kita dapat menyaksikan kemiskinan dan kemelaratan meningkat secara signifikan di beberapa negara dunia ketiga seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. Bahkan seperti itu masih terlihat di negara-negara maju sekalipun seperti di Inggris dan Amerika Serikat. Sebagian masyarakat hidup dalam kemewahan tetapi sebagian yang lainnya masih hidup melarat di bawah garis kemiskinan.
Kemiskinan yang berlangsung di hampir seluruh belahan bumi tersebut, baik di negara dunia ketiga maupun di negara-negara maju, jelas merupakan suatu permasalahan yang sangat serius dan problematik terkait dengan proses pembangunan itu sendiri. Di beberapa negara, kita dapat menemukan pembangunan ekonomi yang tengah berlangsung tetapi tidak dibarengi dengan pembangunan sosial. Fenomena seperti inilah yang disebutkan oleh Midgley (2005) sebagai “pembangunan yang terdistorsi”. Pembangunan yang terdistorsi tersebut terjadi pada suatu masyarakat yang mana pembangunan ekonominya tidak sejalan dengan pembangunan sosialnya. Bahkan hal itu dapat pula terjadi pada suatu negara yang bukan disebabkan oleh masalah pembangunan ekonomi tetapi lebih pada kegagalan dalam menyelaraskan tujuan-tujuan pembangunan sosial dan ekonominya serta kegagalan dalam memastikan bahwa keuntungan dari kemajuan ekonomi ini telah dapat menyentuh masyarakat secara keseluruhan (Midgley, 2005).
Di beberapa negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat, pembangunan ekonomi berkembang begitu pesat tetapi kondisi-kondisi “pembangunan yang terdistorsi” dalam skala tertentu sulit untuk diterima. Sepertinya pembangunan ekonomi telah gagal memberantas kemiskinan dan mengangkat kesejateraan masyarakat. Memang perkembangan perekonomian mengalami peningkatan sangat tinggi tetapi kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya tetap saja eksis bahkan cenderung pula meningkat. Bahkan di negara-negara maju tersebut, kita dengan gampang menemukan pada sudut-sudut kota terjadinya kerusakan yang tidak hanya berupa fisik tetapi juga secara sosial. Kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, perceraian, kekerasan, penggunaan obat terlarang dan masalah sosial lainnya sangat jelas terlihat.
Salah satu contoh nyata dari distorsi pembangunan sebagaimana dikemukakan oleh Midgley (2005) telah berlangsung di Mississipi, salah satu wilayah negara bagian Amerika Serikat. Mississipi memiliki tingkat kemiskinan dan tingkat kematian bayi paling tinggi di Amerika Serikat. Fenomena kemiskinan tersebut jelas bukan disebabkan oleh absennya pembangunan ekonomi karena salah satu kompleks petro kimia terbesar terletak disepenjang sungai mississipi. Di wilayah ini pula terdapat beberapa kilang minyak, perusahaan multinasional yang memproduksi pupuk, industri kimia dan beberapa produk sejenis. Di daerah ini pula terdapat beberapa kota besar yang menjadi pusat transportasi, perdagangan, parawisata, dan layanan-layanan pemerintahan. Daerah ini pula memiliki lahan pertanian dengan teknologi tinggi yang memproduksi beras, kapas, kedelai, sayur mayur dan beberapa bahan baku lainnya untuk komoditi eksport. Kondisi yang terjadi di wilayah Mississipi tersebut menjadi contoh klasik dari pembangunan yang terdistorsi (Midgley, 2006).
Demikian halnya pembangunan yang terdistorsi tengah berlangsung di beberapa negara dunia ketiga. Contoh yang cukup memprihatinkan sebagaimana terjadi di Amerika Latin dimana angka pertumbuhan ekonomi sangat tinggi tetapi kemiskinan dan kekurangan sosial sangat tinggi pula. Fenomena seperti itu dapat pula ditemukan di beberapa negara Afrika dan Asia dimana perbaikan ekonomi ditempuh melalui eksploitasi sumber daya alam. Sebagai contoh, Gabon memiliki pendapatan perkapita tertinggi di seluruh negara Afrika tetapi sekitar 70 persen pemukiman di ibukota negara tersebut tidak memiliki sanitasi yang memadai, sumber-sumber air minum, serta anak-anak yang mengikuti pendidikan dasar sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara Afrika lainnya yang jauh lebih miskin. Bahkan pemandangan seperti itu masih kerap kita temukan di beberapa daerah di Indonesia sampai saat ini.
Fenomena “pembangunan yang terdistorsi” seperti itu tidak hanya terjadi dalam bentuk kemiskinan, kekurangan, rendahnya tingkat kesehatan serta pemukiman yang tidak layak tetapi juga pada rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Pada beberapa masyarakat, banyak etnis dan ras minoritas yang mengalami diskriminasi dan pembatasan untuk memperoleh kesempatan-kesempatan yang dapat meningkatkan standar hidup mereka. Selanjutnya, beberapa contoh lain dari pembangunan yang terdistorsi tersebut mewujud dalam bentuk penindasan terhadap kaum perempuan, terjadinya degradasi lingkungan yang disebabkan oleh eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan serta dapat pula berupa tingginya anggaran militer yang dianggap kurang rasional di beberapa belahan dunia.
Fenomena “pembangunan yang terdistorsi” seperti ini dapat pula bertolak belakang dengan beberapa negara maju yang memiliki keseimbangan pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial mereka seperti yang dapat dijumpai di Eropa seperti Austria, Swedia, dan Swiss, termasuk di beberapa negara berkembang seperti Kostarika, Singapura, dan Taiwan dimana upaya-upaya yang sistimatis telah dilakukan untuk menunjang pembangunan ekonomi sekaligus untuk memastikan tujuan-tujuan pembangunan sosialnya tetap dapat tercapai dengan baik.
Pergeseran Model Pendekatan Pembangunan
Belakangan ini dengan sangat jelas terlihat adanya kecenderungan pergeseran paradigma dan model pendekatan pembangunan yang dipraktekkan oleh berbagai kalangan di Indonesia, baik pihak pemerintah, swasta, organisasi masyarakat sipil (OMS) maupun elemen-elemen masyarakat madani lainnya. Pendekatan pembangunan konvensional yang menitik-beratkan pada pertumbuhan ekonomi seperti yang dipraktekkan oleh pemerintahan ORBA selama 32 tahun dianggap kurang mampu untuk menyejahterakan masyarakat Indonesia secara umum. Karena itulah berbagai kalangan berupaya untuk menemukan sebuah model pendekatan pembangunan alternatif yang dianggap lebih cocok dan kontekstual untuk kondisi Indonesia saat ini.
Kurang berhasilnya praktek pembangunan nasional yang telah dijalankan oleh pemerintah Orde Baru tersebut yang kemudian secara intens mendapat serangan dan kritik dari berbagai pihak. Pendekatan konvensional melalui model pertumbuhan ekonomi yang semula diyakini akan berhasil mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan di Indonesia sama sekali tidak terbukti. Wajar saja jika kemudian para pelaku pembangunan mencoba beralih dan memikirkan model pembangunan alternatif yang diharap dapat menjadi solusi terhadap pembangunan masyarakat Indonesia yang terus berkembangan.
Pembangunan Nasional ala Orba yang terkenal dengan trilogi pembangunan-nya yaitu stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan ternyata tidak sepenuhnya berhasil. Model pendekatan pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi tersebut ternyata memiliki karakter sentralistik, intervensionis, dan bersifat top-down. Implikasi karakter pembangunan sentralistik tersebut terhadap pelaksanaan program pembangunan yang bersifat top-down dan dirancang seragam secara nasional yang pada akhirnya akan menghambat munculnya partisipasi, inisiatif dan prakarsa-prakarsa dari kelompok-kelompok masyarakat. Bahkan cenderung pula mematikan karakter dan keunggulan-keunggulan lokal yang spesifik yang telah eksis sebelumnya.
Selain itu pula, karakter pembangunan sentralistik yang demikian intervensionis tersebut memberi peluang bagi birokrasi pemerintahan untuk mendominasi dan turut campur dalam berbagai aspek pembangunan kemasyarakatan, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi yang seluruhnya dilakukan oleh aparat-aparat pemerintah dimana keadaan seperti itu dapat membasmi tumbuhnya partisipasi masyarakat. Bahkan hal itu justeru berpeluang meminggirkan masyarakat itu sendiri yang memang sejak awal diposisikan sebagai obyek sasaran pembangunan. Karakter pembangunan sentralistis seperti ini kemudian mengakibatkan pula terjadinya ketimpangan antara pusat-daerah, desa-kota, pemerintah-rakyat serta orang-orang yang memiliki akses terhadap kekuasaan dan sumberdaya dengan orang-orang lemah, miskin, dan tidak memiliki akses terhadap sumber daya dan kekuasaan. Model pendekatan pembangunan nasional yang tadinya diharapkan dapat mendorong dan memacu pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah malah menjadi terhambat. Pemerintah daerah sepertinya terlalu tergantung pada kebijakan pusat sehingga mematikan inisiatif dan kreatifitasnya.
Ringkasnya, karakter Pembangunan Nasional Ala Orba yang sentralistik semacam itu jelas berdampak secara luas dan multi-dimensional. Hal itu kemudian terbukti dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia pada pertengahan tahun 1997 yang kemudian disusul oleh krisis politik yang sekaligus menjadi momentum lahirnya gerakan reformasi secara massif di Indonesia pada tahun 1998. Kegagalan model pendekatan pertumbuhan ekonomi ala ORBA tersebut sekaligus menjadi titik tolak bagi berbagai kalangan terutama para pelaku pembangunan untuk segera beralih memikirkan model pembangunan alternatif yang dianggap lebih manusiawi, lebih berkeadilan sosial, dan lebih memihak pada masyarakat umum secara luas.
Kritik terhadap model pembangunan nasional ala ORBA selanjutnya mengindikasikan pula terjadinya pergeseran paradigma dan model pendekatan pembangunan yang lebih mengarah pada model pembangunan alternative yang belakangan dikenal sebagai community development (pengembangan komunitas) yang berorientasi pada people centered development dengan menggunakan pendekatan pemberdayaan komunitas masyarakat yang menjadi arus utama saat ini. Model pembangunan alternatif ini pada hakikatnya berpandangan bahwa pengangguran, kemiskinan, dan keterbelakangan bukan disebabkan oleh kebodohan masyarakat semata. Kondisi seperti itu tercipta karena model pembangunan yang diterapkan selama ini telah terbukti tidak sepenuhnya dapat mengatasi masalah yang ada. Masyarakat yang diperlakukan sebagai objek sasaran pembangunan belaka jelas kurang dapat menumbuhkan partisipasi dan menampung aspirasi masyarakat. Sementara model pembangunan alternatif memposisikan masyarakat sebagai subjek pembangunan sehingga partisipasi masyarakat menjadi sangat penting. Dengan demikian, model pendekatan pembangunan alternatif tersebut untuk sementara ini dipercaya lebih berpeluang untuk mendorong munculnya elemen-elemen kekuatan masyarakat madani (civil society) yang sesungguhnya dan dengan sendirinya diharapkan akan mampu menumbuhkan iklim demokratisasi yang lebih baik.
Hal semacam itu pula yang menjadi landasan pertimbangan bagi para pelaku pembangunan seperti yang dilakukan oleh beberapa kalangan profesional swasta maupun aparat pemerintahan termasuk organisasi masyarakat sipil dan elemen-elemen masyarakat madani lainnya di Indonesia belakangan ini, sebagaimana halnya komunitas MediaQita Foundation mempraktekkan model pendekatan pembangunan yang berbasis pada komunitas lokal dan mengembangkan model pendekatan revitalisasi sosial dan budaya lokal sebagai program unggulannya yang dikemas sebagai bagian dari implementasi CSR (Corporate Social Responsibility).
Penutup
Krisis yang berlangsung dalam Pembangunan Nasional ala Orba selayaknya tidak hanya sekedar menjadi koreksi dan pelajaran yang penting bagi proses perkembangan pembangunan di Indonesia ke depan. Salah satu pembelajaran berharga yang dapat menjadi pertimbangan adalah bagaimana memperbandingkan pola-pola pembangunan yang pernah diterapkan di negara-negara lain sehingga ragam model pendekatan pembangunan yang pernah dipraktekkan sebelumnya akan dapat memperkaya praktek pembangunan yang mesti dilakukan. Selain itu, distorsi yang terjadi dalam suatu proses pembangunan dapat dihindari dan berupaya untuk menemukan formula-formula yang lebih tepat yang akan mempertegas langkah-langkah strategis dalam pembangunan sesuai dengan konteks keadaan perkembangan masyarakat itu sendiri. Disamping itu, pertimbangan terhadap sisi positif dan negatif serta konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh setiap model pendekatan pembangunan yang pernah terjadi sebelumnya dapat menjadi acuan dalam bagaimana mengemas suatu program yang sesuai dengan konteks keadaan sehingga substansi dari setiap upaya transformasi pembangunan masyarakat dapat terus berlangsung dengan baik.