top of page

Revitalisasi dan Lokalogi:Menemukan teori dan metode Pemberdayaan masyarakat berbasis budaya

Selama rejim Orde Baru, pembangunan telah kehilangan akarnya dari budaya sebagai fundamen dalam menegakkan sistem politik, hukum, ekonomi dan lain-lainnya. Akibatnya, budaya kita lebih mudah luluh dari pengaruh sistem global. Daerah tidak diberikan kesempatan untuk pembangkitan inisiatif lokal dalam sistem pembangunan sentralistik. Daerah lebih memilih untuk mematikan/memendam inisiatifnya sendiri dan menyesuaikan diri dengan apa yang diinginkan oleh pusat. Di dalam kondisi ini motivasi pembangkitan inisiatif lokal daerah semakin menurun dan daerah semakin tidak berminat untuk mengetahui kondisi daerahnya sendiri. Generasi muda tidak tertarik lagi atas daerahnya sendiri. Semua menyesuaikan diri pada petunjuk yang top-down. Akhirnya daerah tidak ingin lagi mengetahui tentang daerahnya sendiri kecuali apabila terdapat kaitan dengan proyek pembangunan.

Saat ini, Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk yang sedang mengalami proses-proses transisi menuju masyarakat sipil yang demokratis. Sebuah masyarakat sipil yang demokratis mengakui ‘kedaulatan rakyat, pemerintah berdasarkan persetujuan rakyat yang diperintah, kekuasaan mayoritas, hak-hak minoritas, jaminan hak-hak asasi manusia, persamaan hak di depan hukum, proses hukum yang wajar, pembatasan kekuasaan pemerintah secara konstitusional, kemajemukan sosial, ekonomi, politik dan budaya, nilai-nilai toleransi, pragmatisme kerjasama dan mufakat. Mewujudkan tatanan masyarakat Indonesia yang multikultural dan demokratis mengharuskan berbagai upaya transformasi nilai dan prinsip-prinsip pluralisme dan demokrasi yang terencana, sistematis dan berkesinambungan.

Sejak lama telah berkembang asumsi bahwa domain pengetahuan lokal (indigeneous knowledge) yang dimiliki komunitas lokal sebenarnya mampu melandasi pengelolaan sumberdaya alam secara arif dan berkelanjutan. Namun, sejauhmanakah pengetahuan lokal itu membantu para pelakunya dalam memahami kompleksitas hubungan-hubungan ekologis dalam ekosistemnya, perubahan-perubahan yang tidak terduga, serta konsekuensi-konsekuensi yang tidak diharapkan sehingga mereka mampu untuk mempertahankan strategi yang arif dan berkelanjutan? Di sisi lain, pada era globalisasi ini, dan semenjak berbagai intervensi teknologi dan program-program pembangunan dilaksanakan, maka domain pengetahuan ilmiah yang berlaku universal tidak pelak lagi berpengaruh pula pada pengembangan strategi dan teknologi pengelolaan sumberdaya alam. Domain pengetahuan ilmiah yang kerap menghegemoni berbagai intervensi teknologi dan program pembangunan itu belum tentu mampu diaplikasikan dalam menjawab permasalahan-permasalahan ekologis yang spesifik, dan membantu pengembangan strategi pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan.

Namun, budaya lokal selama ini ditinggalkan oleh perencana pembangunan, karena dianggapnya kuno tak sesuai dengan keadaan. Dalam bentuknya yang kuno itu, memang tidak mungkin dimanfaatkan. Disinilah perlu suatu renovasi, interprestasi secara modern dan rebuilding dengan ramuan baru, sehingga dapat dijelmakan budaya yang dinilainya tetap melekat pada sukma sendiri.

Tulisan ini mencoba melihat posisi kebudayan lokal dalam arus globalisasi yang sedang berlangsung, khususnya untuk memperlihatkan dalam hal apa kebudayaan lokal dapat menjadi faktor dalam penataan kehidupan sosial yang lebih baik; dan merumuskan suatu rekomendasi otonomi kebudayaan daerah dalam proses desentralisasi yang sedang berlangsung di Indonesia.

KEARIFAN LOKAL SEBAGAI MODAL PEMBANGUNAN

Gattang pi na Adak Karena tegas maka dia Adat

Lambusu pi na Karaeng Karena jujur maka dia Raja

Sabbara pi na Guru Karena ikhlas maka dia Guru

Apisona pi na Sanro Karena sabar maka dia Dukun

Cuplikan pasang (pesan) dari komunitas Kajang di Sulawesi Selatan di atas, adalah salah satu contoh pengetahuan local yang wajib dipatuhi bagi setiap warga masyarakat Kajang, terutama bagi mereka yang menduduki sebuah jabatan. Para pejabat selalu berusaha untuk berbuat jujur, sabar, pasrah, dan tegas. Seorang pemimpin baru dapat dikatakan pemimpin apabila ia bersikap jujur, sabar, dan tabah dalam memimpin masyarakat. Seorang pemimpin harus pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hukum baru dapat dikatakan hukum kalau pelaksanaannya tegas.

Warisan nilai–nilai budaya seperti contoh di atas adalah rangkaian konsepsi abstrak yang hidup di dalam pikiran sebagian besar atau seluruh warga masyarakat, mengenai apa yang dianggap mulia, sakral, apa yang diharapkan dan dicita–citakan, apa yang dianggap berharga, apa yang disukai secara moral dan benar, dan apa yang dibenci. Nilai–nilai ini tampak pada jatidiri insani secara: individu-komunal, secara filosofis-praktis, normative- kreatif, dan logis sekaligus intuitif. Pentingnya peranan nilai-nilai budaya tersebut sehingga mengikat setiap kehendak kita yang dipikirkan yang secara etis dan logis, serta menjadi pedoman bagi semua prilaku dan pengambilan keputusan yang akan menuntun tindakan secara seimbang pada setiap langkah.

Sumber nilai tersebut diperoleh dari warisan budaya dan perkembangannya melalui internalisasi ajaran sejak kecil, seterusnya diperoleh lewat sosialisasi dari segala sesuatu yang berupa ajaran, gejala dan peristiwa sosial yang dialami secara empirik oleh setiap warga masyarakat yang terikat pada suatu lingkungan hidup atau etnik (kampung) tertentu, sesuai dengan masa (waktu), dan peristiwa (situasi) yang berlangsung. Wujud rajutan empirik tersebut dalam masyarakat adalah semangat gotongroyong, kekeluargaan, sipakatau (Bgs: saling menghormati), yang berusaha untuk saling membahagiakan, dan bukan untuk memenangkan diri dengan menghancurkan yang lain.

Sejatinya, keadaan geografi Indonesia dengan keragaman ekologi, kebudayaan dan peninggalan sejarahnya bagaikan panorama susunan masa lalu yang tanpa batas. Kita seperti melihat benda-benda peninggalan sejarah (artefak) dari bermacam-macam lapisan-lapisan dalam situs arkeologis yang lama mengeram, yang dijajarkan diatas sebuah meja sehingga sekali pandang bisa kita lihat kilasan sejarah manusia sepanjang ribuan tahun. Semua arus kultural yang sepanjang tiga Millenia, mengalir berurutan, memasuki Nusantara dari India, Cina, Timur Tengah, Eropa,-- terwakili di tempat-tempat tertentu : di Bali yang Hindu, Pemukiman Cina di Jakarta, Semarang atau Surabaya, di pusat-pusat Muslim di Aceh, Makassar atau dataran tinggi Padang; di Daerah-daerah Minahasa dan Ambon yang Cavinis, atau daerah-daerah Flores dan Timur yang Katolik.

Mozaik historis kultural seperti di atas, menyadarkan kita tentang fakta situasi masyarakat Indonesia yang memiliki rentang struktur sosial yang lebar, dan merangkum: sistem-sistem kerukunan melayu-Polynesia di pedalaman Kalimantan atau Sulawesi, Kampung-Kampung tradisional di dataran rendah di sepanjang sungai Jawa Tengah dan Jawa Timur; Kampung-Kampung nelayan dan penyeludupan yang berorentasi pasar dipantai-pantai Kalimantan dan Sulawesi; ibukota-ibukota propinsi yang kumuh dan kota-kota kecil di Jawa dan pulau-pulau seberang; dan kota-kota metropolitan yang besar; terasing, dan setengah moderen seperti Jakarta, Medan, Surabaya, dan Makassar. Keaneragaman bentuk perekonomian, sistem-sistem stratifikasi, atau aturan kekerabatan juga melimpah ruah. Keragaman Indonesia Raya ini dirajut dalam sebuah semboyan Bhinneka Tunggal Ika, beraneka tetapi tetap satu.

Senyatanya, kebudayaan dalam bingkai Indonesia sebagai komunitas nasional adalah rangkuman dari puncak-puncak kebudayaan daerah. Selama masa negara Orde Baru, kita selalu mendapatkan sosialisasi tentang nasionalisme sesuai dengan interpretasi dari rejim yang berkuasa. Akibatnya identitas lokal menjadi termarjinalkan. Identitas lokal seperti identitas yang didasarkan suku bangsa, ras, agama di satu sisi ditekan luar biasa, sehingga identitas nasional 'Indonesia' sebagai collective identity tidak berkembang dengan cara-cara demokratis.

Pemaksaan diri terhadap loyalitas identitas nasional dan memarginalkan identitas lokal mengakibatkan pertentangan yang telah mengarah pada kekerasan seperti memisahkan diri dari collective identity Indonesia (kasus Aceh dan Papua). Pertentangan yang muncul terjadi pada tataran simbolik, akibat tidak dihargainya value yang diaktualisasikan melalui identitas lokalnya. Sebetulnya substansi di dalamnya adalah menyangkut masalah nilai untuk dihargai identitasnya, kebutuhan akan identitasnya dan keadilan (justice) di dalam masyarakat plural seperti Indonesia, terutama berlaku bagi kelompok marjinal dan minoritas seperti masyarakat asli.

Selama pemerintahan Orde Baru, sumberdaya alam lokal dikeruk oleh negara dan perusahaan multinasional yang memanfaatkan sumberdaya alam tadi secara serampangan sehingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan ekologis di penjuru kepulauan. Akibatnya, kita pun terperosok pada upaya peraihan kepentingan dan kekuasaan terkotak-kotak, dengan semangat kompetisi atau prinsip “menang-kalah.” Sedangkan kekuatan dari masing-masing tidak berimbang, sangat timpang, dan terciptalah ketidakadilan, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial-budaya. Sang Kecil menjadi korban Sang Besar.

Sesudah Orde Baru jatuh, desentralisasi kekuasaan menjadi prioritas utama yang dilakukan pemerintah baru dengan tujuan untuk memuluskan terjadinya proses demokratisasi di Indonesia. Saat ini dalam era otonomi daerah, daerah diharapkan untuk membangkitkan kreativitas dan pikiran inovatif yang berasal dari daerahnya sendiri. Daerah secara nyata harus jauh lebih bertanggungjawab atas pembangunan daerahnya dibandingkan dengan pada zaman Orde Baru. Tidak boleh lagi daerah tidak mau mengetahui tentang dirinya sendiri.

Sementara agenda reformasi politik ini masih dalam proses pembentukan yang tidak mudah, di antara kita yang lemah ini terjadi pula konflik-konflik horizontal yang merugikan, dan menyedihkan. Semangat kebersamaan terlindas, bahkan tergantikan oleh permusuhan. Kelemahan menjadi semakin lemah baik oleh himpitan kekuasaan pihak lain, maupun oleh kesempitan wawasan pihak sendiri. Kita cenderung lupa pada tujuan hidup dan sifat kemanusiaan yang hakiki. Kita lupa pada ketidaksempurnaan insani. Kita lupa pada ragam-ragam perbedaan. Yang mencuat adalah usaha-usaha represif, yang mengarah pada pengukuhan kebenaran sepihak, tapi untuk diberlakukan terhadap semua.

Selain itu, secara tidak sadar dalam proses globalisasi, identitas global mempengaruhi pula tingkah laku kehidupan politik kita. Pertentangan identitas lokal/nasional/global mewarnai identifikasi diri dari suatu komunitas seperti Indonesia terus berlanjut. Globalisasi sebagai suatu kekuatan kebudayaan yang dominan telah merambah pelbagai sektor, seperti politik, ekonomi, dan kebudayaan Indonesia. Dorongan interaksi global ikut menghilangkan konsensus antarkelompok, melalui berbagai mekanisme pasar yang menyertainya, yang mengarah pada disintegrasi sosial, khususnya karena globalisasi menuntut kepatuhan tertentu dari negara dan masyarakat yang terlibat. Sebagai akibatnya, kita tergiring pada wilayah-wilayah yang makin mengerucut, pada kelompok masing-masing. Suatu sistem yang umumnya hanya tertangkap pada tingkat “formalis,” tidak terpahami mendalam, membuat kelompok-kelompok itu tergegas mengikuti logika “universalisme”. Kita pun cenderung menerapkan suatu system pengelolaan dan penilaian produk-kerja dengan ukuran ala universalisme tersebut.

Jika di tingkat mikro kita menderita krisis segregasi yang menyedihkan. Di tingkat makro, kita dilanda krisis global yang mengerikan, yakni rusaknya planet bumi sebagai akibat dari cara hidup insan yang mengikuti pandangan dan rayuan “modernisme universal” tersebut. Krisis jagat ini akan berlangsung terus, dan akan semakin parah, yang tidak akan ada obatnya kecuali dengan pandangan hidup baru yang lebih dewasa.

Dalam situasi seperti saat ini, maka sudah tiba saatnya kita kembali menggali kebudayaan sebagai sebuah pengalaman hidup yang terbukti telah teruji menyelesaikan masalah di masyarakat lokal masing-masing. Berbagai nilai budaya yang dimiliki oleh komunitas-komunitas lokal adalah modal sosial yang sangat signifikan untuk pengembangan daerah maupun untuk kepentingan Bangsa Indonesia. Sayangnya bila potensi yang besar seperti ini kemudian tidak dikelola dengan baik, atau hanya ditempatkan semata-mata dalam prespektif ke-parawisataan, maka apa yang kemudian kita anggap sebagai kekayaan dan modal sosial itu tidak akan bisa memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan bangsa ini.

Nilai-nilai sosial budaya masyarakat dan kearifan local perlu terus dipelihara dan di kembangkan karena merupakan acuan bagi pengembangan tatanan sosial kemasyarakatan secara umum. Pengembangan itu diupayakan melalui reinterpretasi, refungsionalisasi, reaktualisasi, dan reaktualisasi secara berkesinambungan. Nilai-nilai dimaksud harus mampu berkompetisi terhadap dinamika perkembangan global (spirit zaman), sehingga menghasilkan nilai-nilai yang rasional tetapi tetap memiliki spirit kearifan lokal. Dengan demikian, kelembagaan masyarakat setiap lokal memiliki akar dan latar belakang budaya yang kuat, sehingga tidak akan pernah merasa asing terhadap dirinya sendiri.

Sejalan dengan gerakan pembangkitan lokal, maka perlu digagas sebuah metode tentang pengetahuan lokal yang disebut Lokalogi. Tujuan utama Lokalogi adalah agar masyarakat setempat dapat mengetahui 'harta' lokal yang berada di daerahnya atau komunitasnya. Lokalogi tidak perlu diformalisasikan secara resmi melalui Perda maupun Keputusan Bupati/Walikota. Sebaiknya hal ini dimulai dari hal-hal yang kecil saja dahulu. Lokalogi bisa dilakukan oleh akademisi, aparat pemda, dan masyarakat setempat, secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Misalnya, kita memilih suatu Kampung untuk dikunjungi lalu kita berjalan jalan bersama masyarakat setempat sambil mengobrol tentang apa saja yang ada kaitannya tentang kampung tersebut. Kita pasti akan terkejut atas berbagai informasi yang tersimpan di dalam masyarakat setempat.

Ini juga suatu awal bagi kelancaran komunikasi antara masyarakat dan pemerintah daerah. Lalu, informasinya dicatat dengan Kartu Sumber Daya Lokal atau Peta Gambar dan akan bermanfaat bukan hanya bagi pihak pemerintah saja tetapi juga untuk masyarakat setempat. Melalui proses ini akan muncul perubahan yang mendukung terciptanya good govermance yang bukan konsep tetapi yang nyata, baik di dalam masyarakat maupun di dalam pemerintah daerah sendiri. Dalam konteks ini, Lokalogi kiranya sangat penting sebagai dasar awal pelaksanaan pembangunan daerah di Indonesia.

LOKALOGI SEBAGAI STRATEGI MENUJU INDONESIALOGI

Memasuki milenium ketiga, dunia berada dalam ketidakpastian, sehingga semua mencari dan ingin menemukan suatu sistem baru guna dijadikan acuan sebagai negara modern. Sistem yang ada sekarang tetap dipertahankan, namun ingin menemukan hal baru dari pada yang mereka miliki. Ketika Otonomi Daerah (Otoda) mulai dibuka di Indonesia, hal-hal yang menjadi bagian dari lokalitas kita tiba-tiba saja penting. Dalam hal ini etnisitas dan kebudayaan lokal yang menjadi sorotan paling signifikan. Tentu kita bisa katakan ada beberapa hal yang mendorong itu, bisa jadi kepentingan politik lokal maupun nasional, juga mungkin saja untuk kepentingan devisa daerah, karena saat ini daerah diberi pula kesempatan untuk menggali potensi lokalnya untuk kepentingan devisa itu.

Kecenderungan untuk kembali ke lokalitas semakin tinggi ini, menunjukkan betapa penting dan sexinya sekarang semua hal yang berbau lokal. Potensi-potensi lokal yang tadinya diabaikan sekarang mulai dilirik kembali. Gejala ini dianggap sebagai bagian dari kritik terhadap modernisme yang selama ini mengusung wacana universalismenya sehingga mengabaikan hal-hal yang bersifat parsial dan lokalis. Dalam pencarian itu, kita di Indonesia dapat menarik faedah dari penggalian kembali nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan lokal, oleh karena cukup banyak kearifan tradisional yang disimpan dalam kebudayaan lokal.

Pembangunan daerah di Indonesia sejauh ini mengasumsikan bahwa daerah lebih tahu tentang daerahnya sendiri. Oleh karena itu di dalam era otonomi daerah setiap daerah mendapat kesempatan untuk membangkitkan inisiatif lokalnya. Namun sayangnya beberapa daerah gagal dalam membayangkan potensi lokal yang dimilikinya selama ini, khususnya dalam bidang kebudayaan. Hal ini disebabkan pula oleh cara pandang kita terhadap kebudayaan yang tunggal, yaitu melihat kebudayaan masayarakat hanya pada artefak-artefaknya, pertunjukan seninya dan sesuatu yang lebih bersifat tontonan belaka. Memang hal itu juga penting khususnya dari sisi parawista, namun bila hanya berakhir disitu maka potensi yang dimiliki oleh kebudayaan bangsa kita sebagai live experience, tempat produksi dan reproduksi makna tidak akan tergali dan tidak akan bisa memberi sumbangsih apa-apa terhadap denyut perkembangan negeri kita.

Saat ini sudah banyak pemerintah daerah yang mulai memperhatikan tentang pengetahuan dan kebudayaan lokal. Ironisnya pengetahuan dan kebudayaan lokal justru terpendam di dalam masyarakat. Masyarakat hingga saat ini masih merasa jauh dari pemerintah karena pemerintah cenderung lebih berfungsi sebagai instansi pengawas atas masyarakat daripada sebagai instansi pelayanan bagi masyarakat. Komunikasi antara masyarakat dan pemerintah merupakan salah satu persyaratan utama untuk meningkatkan pengetahuan tentang daerahnya sendiri demi tercapainya pembangunan daerah yang benar. Dalam proses peningkatan pelayanan publik di era otonomi daerah, pemda perlu berusaha untuk mengubah dirinya untuk lebih mendekati dan berpihak kepada masyarakat.

Harapan Indonesia Baru kemungkinan besar berada di daerah, tertama di komunitas-komunitas. Semakin komunitas berkembang, daerah juga berkembang. Maka Indonesia juga akan semakin berkembang. Jangan lupa bahwa harapan utamanya untuk Indonesia Baru tidak berada di pemerintah propinsi atau kabupaten/kota, tetapi berada di masyarakat komunitas. Mulai dari lokal, artinya mulai dari komunitas yang menjadi unit utama kegiatan masyarakat sehari-hari. Untuk menata sistem sosial secara lebih berkelanjutan dibutuhkan pemahaman sifat dan ciri lokal secara subyektif yang bebas dari konstruksi yang dominatif dan hegemonis.

Disinilah peranan praktek lokalogi yang merupakan perangkat dari strategi untuk memanfaatkan nilai-nilai asli yang sudah memperoleh adaptasi dengan pergaulan modern. Adopsi unsur budaya asing akan tersaring dan akan menjelma jadi bagian dari pembudayaan. Lokalogi merupakan rangka awal menuju pembangunan daerah "dari dalam", sehingga bisa menjadi sumber energi pembangunan daerah yang benar. Dengan cara ini akan mungkin dipahami kembali aspek-aspek yang dapat menghubungkan satu mosaik kebudayaan dengan yang lain yang memungkinkan dibangunnya suatu mode komunikasi kultural.

Lokalogi atau Kampung-logi adalah upaya memperdalami pengetahuan tentang daerah atau komunitas lokal oleh komunitas lokal tidak hanya didasarkan pada angka-angka statistik atau informasi yang resmi dari pemerintah. Data dan informasi resmi menyampaikan hanya sebagiannya saja tentang apa adanya di daerah atau komunitas setempat. Tujuan utama lokalogi adalah memberikan perhatian kepada sumber-sumber daya lokal yang belum begitu diperhatikan. Dengan kata lain, lokalogi adalah upaya belajar dari daerahnya atau komunitasnya yang dianggap sudah kenal.

Lokalogi pada prinsipnya didasarkan pada hal-hal yang khas/apa adanya yang dimiliki oleh daerah atau komunitas setempat, misalnya (1) pengalaman, (2) tradisi, (3) pemandangan yang indah, 4) makanan yang enak, (5) sejarah rakyat, (6) kehidupan sehari-hari, dan sebagainya. Oleh karena itu, Lokalogi adalah suatu upaya mencari, mempelajari dan memahami hal-hal yang bersifat lokal atau khas daerah oleh masyarakat setempat bersama-sama dengan orang luar yang.tertarik pada daerah atau komunitas tersebut.

Upaya pemahaman lokal tidak berhenti hanya tingkat pengetahuan. Tidak cukup hanya menjadi pakar tentang daerah. Lokalogi diharapkan dapat menjadi gerakan praktis dan nyata untuk mengembangkan daerah atau komunitas setempat, berdasar atas hasil pencarian, penelitian, dan pemahaman atas kekhasan lokal ini. Dengan kata lain, . lokalogi merupakan upaya penciptaan kehidupan atau kebudayaan lokal sehari-hari melalui "tanya jawab sendiri" oleh masyarakat setempat, sambil menerima perubahan dari luar dan memperternukan perubahan tersebut dengan jatidiri daerah itu sendiri.

Lokalogi dilakukan bukan hanya oleh masyarakat setempat tetapi juga bersama orang-orang luar. Orang luar mempunyai pandangan lain dari masyarakat setempat, maka mereka bisa mencari daya tarik baru yang belum diakui/ tidak diketahui oleh masyarakat setempat. Misalnya, suatu batu besar yang dirasakan biasa-biasa saja oleh masyarakat setempat justru dinilai sangat bagus sebagai obyek wisata oleh orang luar. Pengetahuan lokal berkembang dengan kolaborasi antara 'tanah' (masyarakat setempat) dan 'angin' (orang luar). Kolaborasi tersebut akan menghadirkan ‘air’ (kehidupan) dan ‘api’ (dinamika, krativitas dan inovasi).

Wilayah atau komunitas harus selalu memikirkan daya tarik yang dimilikinya agar semakin banyak orang luar yang menjadi pendukung daerahnya dan komunitasnya. Sekaligus harus memahami bahwa lokalogi memberi kesempatan untuk belajar bagaimana caranya menerima dan memanfaatkan/menyesuaikan perubahan yang datang dari luar sebagai penambahan kekuatan daerah/komunitas tanpa merusak jati dirinya sendiri. Dengan kata lain, lokalogi adalah upaya meningkatkan daya daerah/komunitas yang benar dan tepat dalam zaman globalisasi dan perubahan cepat. Daerah/Komunitas harus terbuka sambil memperkuatkan diri dengan meningkatkan nilai dirinya sendiri, bukan sambil menutupkan diri terhadap dunia luar.

Tahapan pengenalan ke gerakan lokalogi praktis dimulai dengan tahap mengenali potensi diri sendiri, kemudian mereka bisa berpikir tentang apa yang bisa dilakukan untuk pembangunan daerah berdasar penemuan mereka. Pada tahap inilah dilakukan pembagian tugas antara pemerintah dan masyarakat dalam membangun daerah. Hal-hal apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat, dan mana yang bisa dilakukan oleh pemerintah, kemudian hal-hal yang bisa dilaksanakan melalui kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah. Termasuk apakah pendekatan partisipatif layak untuk itu atau tidak. Melalui Lokalogi ini akan diperoleh pondasi proyek pembangunan yang lebih mantap dan akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan karena mereka akan menjadi paham atas kegiatan-kegiatan pemerintah.

Semua ini dilakukan untuk meningkatkan daya tarik lokal agar daerah dan masyarakat setempat mengetahui dirinya sendiri, untuk bangga akan dirinya dan keluar dari keadaan sulit di dalam pembangunan sentralistik yang berpusat Jakarta.

MENGOKOKOHKAN LOKALOGI

Ada beberapa alasan sehingga lokalogi terpilih sebagai alternatif ; antara lain adalah : (1) sebagian masyarakat local sudah kehilangan jati diri mereka; (2) relavitas kebudayaan; dan (3) generasi muda melarikan diri dari daerah dan komunitas lokal.

1. Kehilangan Jati Diri

Titik awal pelaksanaan lolalogi adalah adanya kenyataan bahwa masyarakat setempat belum tahu apa-apa tentang daerahnya sendiri. Maka, mereka selalu melihat apa yang tidak ada di daerah, dan tidak melihat apa yang ada di daerah. Ini merupakan semacam penyakit kehilangan jati diri (identitas) dan mereka tidak percaya diri lagi. Jika tidak percaya diri maka mereka akan mudah dipengaruhi oleh pendapat orang luar dan trend dunia luar, atau sebaliknya mereka akan menutup diri dan menolak pendapat dari orang luar.

2. Relavitas Kebudayaan

Apabila kita bertemu dengan orang lain, kita biasanya mengukur orang tersebut dengan ukuran kita sendiri. Hal ini kurang tepat, karena bagaimanapun juga saya bukan kamu dan kamu bukan saya. Namun demikian kita mempunyai kesempatan untuk berusaha menjadi orang lain, meskipun hal itu tidak sepenuhnya atau tidak sampai menjadi orang lain. Kita memang tidak bisa menjadi orang lain, namun hal ini dilakukan dalam rangka mengtetahui orang lain itu sebanyak mungkin. Ketika kita suka dengan sesuatu atau cinta kepada orang lain, kita dikuasai oleh perasaan senang dan perasaan demikian ini disebut kemampuan perasaan imajinatif.

Seseorang yang melihat dan mengkritik kebudayaan lain dengan ukurannya sendiri itu disebut orang egois dan apabila diperlebar pada tingkat etnis, hal itu disebut Etnosentrisme (ethnocentrism). Seharusnya kita tidak boleh berbuat demikian, karena masing-masing kebudayaan mempunyai nilai berbeda-beda. Hal ini penting dalam rangka menghargai nilai-nilai yang ada pada kebudayaan lain. Pandangan demikian itu ada dan disebut relativisme, sebagai lawan dari Etnosentrisme. Namun di dalam Etnosentrisme terdapat juga Eksotisme, yaitu menganggap rendah kebudayaan lain. Paham ini populer di Eropa pada akhir abab XIX, yaitu ketika orang barat mengagumi kebudayaan lain dan menganggapnya kebudayaan itu rendah. Mereka melihat kebudayaan orang lain seakan-akan melihat kebudayaan orang gila.

Tanpa pemahaman tentang relavitas kebudayaan, maka seringkali pendekatan orang luar terhadap daerah atau komunitas tertentu sering memaksakan pendapatnya kepada daerah atau komunitas tersebut secara sengaja atau tidak sengaja. Orang luar umumnya ingin mengubah orang-orang di daerah atau komunitas tanpa berpikir untuk merubah/menyesuaikan dirinya sendiri.

3. Generasi muda melarikan diri dari daerah dan komunitas lokal

Kini, banyak generasi muda di daerah dan komunitas lokal merasa malu dan tertinggal karena mereka dianggap orang yang tidak maju. Maka mereka berusaha melepaskan dirinya dari komunitas lokal, lalu lari ke kota, terutama ke kota-kota besar. Mereka tidak menghormati apa yang telah dikerjakan oleh generasi pendahulu, dan lebih percaya pada apa yang datang dari luar karena merasa lebih bagus dan canggih/modern dibandingkan dengan apa yang ada di daerah atau komunitas lokal. Kondisi seperti ini, menyiratkan fenomena terjadinya krisis jati diri daerah.

KESIMPULAN

Sejatinya, alasan keberadaan propinsi adalah menciptakan peluang bagi penduduknya untuk mengembangkan diri sesuai dengan potensi spesifik yang di miliki, serta sebagai media bagi tumbuh berkembangnya tatanan internalnya-- dalam hal ini berupa komunitas yaitu tatanan yang berbasis wilayah seperti kampung, kabupaten dan kota, serta tatanan fungsional yang mewujud dalam bentuk lembaga dan organisasi kemasyarakatan--menurut cara yang dipilih secara mandiri oleh masing-masing tatanan internal. Di samping itu, propinsi semestinya pula memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas ketahanan nasional.

Peningkatan kualitas manusia seutuhnya haruslah dijadikan tujuan, bahkan esensi, pembangunan. Membantu dan memberi peluang kepada setiap orang untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya adalah suatu keniscayaan, sama sekali bukan karena manusia yang berkualitas dibutuhkan untuk menunjang pencapaian suatu tujuan pembangunan yang didefinisikan dari perspektif lain.

Pembangunan pada tataran propinsi semestinya mewujud dalam bentuk penciptaan peluang kepada setiap daerah kabupaten/kota dan setiap kelompok masyarakat untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan kualitas keberadaannya menurut karakteristik budaya dan kearifan lokal masing-masing. Dalam hal ini, budaya lokal bukan hanya sekadar diacu, tetapi juga terus dikembangkan antara lain dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian, pembangunan pada dasarnya merupakan proses revitalisasi budaya lokal agar senantiasa terkait dengan perubahan yang dibawa oleh spirit zaman sehingga dapat memelihara keterkaitan (inter koneksitas) dengan lingkungan strategisnya. Di samping itu, pembangunan bukan pula sekadar penyaluran aspirasi dari tatanan internal, tetapi jauh lebih maju, karena menfasilitasi setiap tatanan internal untuk mewujudkan aspirasi masing-masing dengan cara yang dipilihnya secara mandiri pula.

Pendekatan pembangunan ini selain akan bermuara pada tumbuh berkembangnya tatanan internal yang beragam yang mampu mengedepankan keunggulan lokal masing-masing, juga akan memperkuat dan memperkaya identitas dari setiap tatanan internal. Kondisi seperti itu akan bermuara pada terwujudnya Indonesia Raya sebagai suatu komunitas pembelajar (Evolutionary Learning Community), komunitas yang terus mengem bangkan diri dan memperkaya identitasnya dari hasil interaksi dengan lingkungannya dan dari pergeseran aspirasi tatanan internalnya. Hanya komunitas seperti ini yang mampu mempertahankan keberlangsungan keberadaannya di tengah laju perubahan global yang semakin meningkat sekaligus mampu memberikan kontribusi berarti bagi peningkatkan kualitas ketahanan nasional dalam menghadapi dinamika lingkungan strategisnya.

Senyatanya, pendekatan pembangunan ini merupakan interpretasi kreatif dari semangat UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), serta mengacu kepada Sains Baru (New Science) yang memosisikan kelembagaan masyarakat (wilayah maupun fungsional) sebagai suatu tatanan (sistem organic) dengan derajat kompleksitas yang tinggi (living system), bukan sebagai sistem (mekanis) sebagaimana diasumsikan oleh sebagian besar pendekatan pembangunan yang dianut selama ini.

Memang, kita kini menghadapi dua tantangan teramat sulit. Pertama adalah terlibat dengan jaringan besar (tataran nasional maupun global), dan kedua adalah pada lingkungan kecil, yakni kelompok atau lingkup-lingkup lokal kita semua. Kedua tantangan itu menuntut kearifan kita semua, dalam meningkatkan kemampuan bekerja dan belajar, bicara dan mendengar, berpikir dan merenung, berkumpul dan berpisah.

Upaya reinterpretasi, refungsionalisasi, reaktualisasi, dan reaktualisasi nilai-nilai budaya tradisional perlu diberi prioritas tinggi pada setiap tahapan pembangunan, karena hasil revitalisasi itu di butuhkan pada proses pendidikan (untuk pembentukan karakter generasi muda) dan untuk menjadi acuan dalam proses pengembangan kelembagaan masyarakat di bidang sosial-ekonomi dan sosial- politik.

Pendidikan sebagai mekanisme pengenalan, pembiasaan dan pembinaan atau pemberdayaan (empowerment) merupakan media yang efektif dan relevan bagi upaya perwujudan masyarakat multikultural dan demokratis tersebut. Pendidikan dapat menjadi pilihan terbaik dalam konteks perwujudan masyarakat Indonesia yang mampu menerima segala perbedaan, dapat hidup berdampingan secara damai serta dapat saling bekerjasama tanpa mempersoalkan perbedaan-perbedaan yang ada. Logalogi ini sangat berguna dalam konteks pendidikan sekolah SD atau SMP agar generasi muda dapat mencintai daerahnya sendiri dan menjadi penggerak utama prime-mover pembangunan daerah di masa yang akan datang.


Ditulis oleh Prof.Halilintar Lathief, salah satu bab di buku "menari di atas Gelombang"

#revitalisasibudaya #lokalogi #anthropology


9 views0 comments
bottom of page